Kwan Yin Tan (Hari Besar Bodhisatva Avalokitesvara)
Sabtu, 3 April 2010 (Ji Gwee Cap Kauw)
09.00-10.00 : Pembacaan Sutra Phu Men Phin
10.30-11.00 : Shang Kung
18.00-21.00 : Ta Pei Chan
Cheng Beng
Senin, 5 April 2010
08.00-10.00 : San She Si Nian bab I
10.30-11.00 : Shang Kung
13.00-14.00 : San She Si Nian bab II
14.30-17.00 : San She Si Nian bab III & Siao Mong Shan
=================================================
Bagi Bapak/Ibu/Saudara/i se-Dharma yang ingin melakukan pelimpahan jasa bagi para leluhur dapat mengisi formulir yang tersedia di meja resepsionist Ekayana Buddhist Centre.
Jl. Mangga II No. 8 Duri Kepa
(Tanjung Duren Barat Greenville)
Jakarta Barat 11510
Tel: (021) 5687921-22 Fax: (021) 5687923
Email: info[at]ekayana.or.id
=================================================
Untuk cheng beng sendiri sudah di mulai H-10 sampai dengan H+10. Cheng beng pada tahun 2010 ini jatuh pada tanggal 5 April, apabila ketemu tahun kabisat (29 Februari) maka hari H cheng beng jatuh pada tanggal 4 April.
Cheng beng sendiri bukanlah tradisi dalam Buddhism, tapi merupakan tradisi dari Tiongkok kuno yang sudah susah untuk ditelusuri asal mula. Dewasa ini yang rutin dilakukan pada saat menjelang cheng beng adalah ziarah dan membersihkan makam/kuburan orang tua/leluhur sebagai tanda bakti (seringkali disalah artikan sebagai sembahyang kuburan).
Buddhism sendiri yang terkenal sangat toleransi pada budaya-budaya lokal juga mengadopsi cheng beng ini dan kesempatan bagi para anak cucu melakukan pelimpahan jasa kepada para orangtua dan leluhurnya yang sudah meninggal dunia.
=================================================
PENGHORMATAN KEPADA LELUHUR
Ayah dan ibu dilambangkan sebagai dua Buddha dalam keluarga.
Dari semua kebaikan, kebaikan orangtua adalah kebaikan yang mulia.
Sesungguhnya ada dua Buddha dalam setiap keluarga, namun sangat disayangkan belum banyak yang mengerti akan hal ini.
Mereka tidak meminta emas ataupun permata, juga tak perlu dipuja dengan cendana.
Digambarkan bahwa kasih anak diumpamakan seperti seinci rumput.
Adapun kasih orangtua bak cahaya mentari yang terus menyinari bumi.
Maka sebagai seorang anak sudah sepantasnyalah sedapat mungkin berbakti kepada orangtua selagi mereka masih ada dan melakukan pelimpahan jasa setelah mereka meninggal dunia.
=================================================
Tradisi memberi persembahan untuk keluarga yang telah meninggal dunia dalam Buddhism (tulisan asli: agama Buddha) dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara :
1. Mempersembahkan makanan langsung ditujukan untuk mengenang almarhum/almarhumah.
2. Mempersembahkan dana kepada Vihara (Sangha) yang kemudian akan melakukan upacara pelimpahan jasa untuk kebahagiaan almarhum/almarhumah.
Dalam Sigalovada Sutta diuraikan bahwa salah satu kewajiban anak terhadap orangtua dan leluhurnya adalah memberikan persembahan dan melimpahkan jasa kebajikan dari perbuatan itu. Dalam Tirokudda Sutta dijelaskan bahwa sanak keluarga yang masih hidup seyogianya memberikan persembahan makanan dan minuman sebagai perilaku bakti kepada sanak keluarganya yang telah meninggal dunia. Juga dijelaskan cara yang satunya lagi, yaitu dengan memberi persembahan kepada Vihara/Sangha. Sangha akan melimpahkan jasa dan kebajikan ini kepada almarhum/almarhumah.
Dalam Pattakamma Sutta, Buddha menjelaskan kepada Anathapindika tentang lima macam persembahan, yaitu :
1. Persembahan kepada sanak saudara yang masih hidup
2. Persembahan kepada tamu
3. Persembahan kepada sanak saudara yang telah meninggal dunia
4. Persembahan kepada raja (pemerintah)
5. Persembahan kepada dewa.
Mempersembahkan kepada dewa menunjukkan bahwa jasa yang dilimpahkan oleh Sangha bukan hanya dapat diterima oleh mereka yang terlahir kembali di alam peta tetapi juga oleh sanak keluarga kita yang terlahir di alam dewa.
Dalam Mahaparinibbana Sutta, Buddha menyarankan rakyat untuk berdana kepada para biksu berbudi luhur dan mendedikasikan persembahannya kepada para dewa. Para dewa akan melindungi dan membantu mereka sebagai balasannya.
=================================================
”Kulihat ayahbundaku, yang darah, daging, dan vitalitasnya ikut mengaliri pembuluh darahku dan memberi makan setiap sel dalam diriku. Melalui mereka, kulihat keempat kakek nenekku. Harapan, pengalaman, dan kearifan mereka telah diturunkan oleh para leluhur melalui banyak generasi.
Kubawa serta dalam diriku kehidupan, darah, pengalaman, kebijaksanaan, kebahagiaan, dan kesedihan dari sekian generasi. Derita dan semua elemen yang perlu diubah, sedang kulatih untuk berubah. Kubuka seluruh hati, daging, dan tulangku untuk menerima energi pengertian mendalam, cinta kasih, dan pengalaman yang telah diturunkan oleh seluruh leluhurku kepadaku.
Kulihat akarku di dalam ayah, ibu, kakek, nenek, dan seluruh leluhurku. Aku tahu aku hanyalah kelanjutan dari garis silsilah leluhur ini. Mohon dukung, lindungi, dan turunkanlah energi para leluhur kepadaku. Aku tahu di manapun anak cucu berada, leluhur juga ada di sana. Aku tahu orangtua selalu mengasihi dan mendukung anak cucu mereka, walaupun mereka tidak selalu mampu dengan terampil mengekspresikannya karena berbagai kesulitan yang mereka temui.
Kulihat leluhurku berusaha membangun sebuah cara hidup yang berdasarkan rasa syukur, suka cita, keyakinan, rasa hormat, dan kasih sayang. Sebagai kelanjutan dari leluhurku, aku bersujud secara mendalam dan mengijinkan energi mereka mengaliri diriku. Kumohon pada para leluhurku untuk senantiasa memberi dukungan, perlindungan, dan kekuatan.”
(Zen Master Thich Nhat Hanh)