Makna Sebuah Kemenangan

Oleh: Nyana Suryanadi Mahathera
Kompas, Jumat, 8 Mei 2009 (hal. 6)

Kosmik saat purnama pada bulan Waisak, dunia mengenang kembali tiga peristiwa perjalanan hidup Buddha Gautama yang penuh nilai kemanusiaan dan keteladanan.

Ketiga peristiwa itu adalah kelahiran, pencapaian penerangan sempurna, dan parinirwana (meninggal). Kata “Buddha” sendiri mengandung pengertian bangun, bangkit, atau sadar. Buddha bukan nama diri, tetapi kesempurnaan tertinggi bagi orang yang mencapai pencerahan.

Bila direnungkan dengan tenang dan keterjagaan nurani, momentum Waisak akan menuntun kita menuju cakrawala hidup yang lebih bermartabat. Makna historis Waisak adalah sebuah dialektika kehidupan yang telah mencapai titik transformasi “paripurna”, sebuah kemenangan nurani atas segala ambiguitas kehidupan.

Buddha tidak lagi diombang-ambingkan suasana hidup yang selalu bersinggungan dengan berbagai masalah (dukkha) (D.II.22), baik fisik, mental, maupun sosial. Berbagai beban persoalan hidup yang fundamental dipandang dengan cara elegan, realistis, sehingga tampak jelas, masalah hanya tarik-menarik antara persepsi ego, keinginan ceroboh, dan konstruksi mental yang tidak terampil.

Kapasitas untuk bangkit (Buddha) dalam mengatasi segala persoalan secara tenang, terkontrol dalam bingkai keterjagaan (mindfullness/eling), merupakan cara hidup menuju kemenangan dan pembebasan yang selalu relevan untuk diterapkan dalam aneka kehidupan (M.I.37)

Kemenangan Sejati

Kemenangan sejati terletak di hati, bukan dalam pakaian, makanan, dan materi. Makna kemenangan harus lebih diarahkan pada upaya meraih kualitas diri yang lebih baik dan mempertahankannya. Kualitas untuk berdamai dalam diri dan harmoni dengan semua. Kemenangan Siddharta Gautama melawan Mara (nafsu keinginan) merupakan bentuk kemenangan sejati, menjadi refleksi diri bagi kita untuk bangkit dan berjuang dengan semangat dan selalu sadar (eling) tiap saat.

Eksistensi Buddha dengan berbagai kapasitas dan keluhurannya bukan hanya monopoli Siddharta, tetapi bersifat universal, dapat diwujudkan oleh siapa pun yang peduli dan sadar dalam menjalankan kehidupan. Kemampuan untuk sadar akan memperlancar intensitas perjumpaan mental dengan sisi-sisi paling alami yang kita miliki berupa benih kasih, kepedulian, dan kebijaksanaan atau benih dan sifat kebuddhaan (Buddhata).

Sifat kebuddhaan inilah yang sering kita abaikan dan jarang “dikunjungi” atau tidak diizinkan muncul mewarnai ritme hidup. Kita cenderung biasa terbelenggu dalam ritme ketergesa-gesaan, terkungkung dalam pandangan maya, hidup tanpa akar kesadaran, berlari dari momen kekinian, bahkan dalam masa istirahat sekalipun.

Kemenangan sejati sebagai buah proses pemupukan kesadaran pada hakikatnya bukan kemenangan yang bernuansa heroik destruktif, bukan kemenangan yang dilakukan dengan menekan berbagai karakter negatif yang kita miliki. Kemenangan atau pembebasan dilakukan dengan sepenuh hati, berdamai dengan segala karakter negatif yang kita miliki, berdamai dengan diri sendiri.

Pada dasarnya kita seperti keping mata uang dengan dua sisi, kebaikan dan keburukan, dan menghilangkan satu sisi berarti menghilangkan yang lain. Memperlakukan sisi baik dengan cara yang salah akan melahirkan sisi buruk. Sementara tidak menghendaki sisi buruk menekan sisi atau “membenci” sisi buruk hanya akan menambah masalah. Cara kesadaranm (eling) bekerja adalah memperlakukan dua sisi dalam basis yang sama, memahaminya secara alami, serta menyinarinya secara apa adanya dan perlahan akan terbebas dari dualisme baik-buruk sebagai puncak kedamaian dan kemenangan spiritual.

Demokrasi dan Transformasi

Tidak berlebihan jika dalam konteks ke-Indonesia-an, spirit perdamaian juga merupakan bagian dari solusi berbagai masalah kebangsaan dalam rangka membawa bangsa ke arah yang lebih baik. Sebagai bangsa yang terangkai dari mozaik kemajemukan, di dalamnya terhimpun beribu-ribu pulau, bahasa, budaya, adat kebiasaan, pikiran, dan keinginan, di mana selain merupakan kekayaan keragaman, juga dapat menimbulkan perpecahan.

Apalagi pelaksanaan Pemilu 2009 berpotensi memunculkan perbedaan yang kian tajam, seperti perbedaan paham dan pemikiran, berpuncak pada perbedaan status kekalahan dan kemenangan. Kekalahan maupun kemenangan yang tidak dipahami secara dewasa dalam pigura perdamaian hanya akan menodai komitmen persatuan dan kesatuan yang telah dirajut bersama (Dh.201). Pada titik inilah kedamaian dalam diri, keampuhan untuk hidup harmonis dengan sesama, memunculkan peran yang amat vital. Hanya dengan rasa damai, sebuah masyarakat dimungkinkan mampu bermusyawarah bersama secara tulus dalam mengatasi masalah, rukun berhimpun, hidup harmonis dalam naungan konstitusi sebagai syarat kemajuan dan kesejahteraan bangsa (D.II.75-75).

Buddha menjelaskan tentang syarat-syarat kesejahteraan suatu bangsa. Pertama, sering berkumpul untuk mengadakan musyawarah. Kedua, dalam permusyawaratannya selalu dianjurkan perdamaian. Ketiga, menetapkan adanya hukum-hukum yang baru dan mengubah tradisi lama atau meneruskan pelaksanaan aneka peraturan lama sesuai Dharma. Keempat, selalu menunjukkan rasa hormat dan bakti serta menghargai orang yang lebih tua. Kelima, melarang keras penculikan atau penahanan wanita-wanita dari keluarga baik-baik. Keenam, menghormati dan menghargai tempat-tempat suci mereka. Tujuh, melindungi dan menjaga orang-orang suci dengan sepatutnya dan bagi mereka yang belum memiliki pekerjaan diusahakan agar memiliki pekerjaan serta hidup aman dan damai.

Waisak tahun ini bertepatan dengan pesta demokrasi. Dalam masyarakat yang bebas dan demokratis, yang diperlukan adalah kedamaian, bukan perselisihan, pertengkaran, dan permusuhan. Demokrasi mempertahankan perdamaian dan persatuan, bukan peperangan dan perpecahan. Keragaman dan kebhinnekaan merupakan realitas, kebersamaan dalam perbedaan merupakan kebutuhan. Proses pencapaian kebuddhaan merupakan transformasi personal yang sadar dalam membangun kemenangan, damai dalam diri, dan harmoni dengan semua.

Selamat hari Waisak 2553 BE. Semoga semua makhluk hidup bahagia.

Nyana Suryanadi Mahathera
Ketua Umum Sangha Agung Indonesia
Pembina Majelis Buddhayana Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *